Sebuah Nilai Dalam Rasa
Dari sekian banyak unsur-unsur yang hidup dalam masyarakat, makanan merupakan salah satu unsur penyokong kebutuhan hidup manusia. Makanan menjadi salah satu produk yang dihasilkan dari sebuah budaya, wujud dari kebudayaan manusia baik proses pengolahan bahan-bahan mentah menjadi sebuah hidangan maupun perwujudannya seperti cara penyajian, pengkonsumsiannya sampai menjadi tradisi. Hal ini mungkin terjadi karena adanya hubungan kait-mengait dengan berbagai aspek yang ada dalam kehidupan sosial dan dengan berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakat tersebut.
Di Indonesia makanan tidak hanya dinilai sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan hidup. Namun, lebih dari itu. Setiap unsurnya memiliki pemaknaan dan nilai yang tak biasa. Tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan perut, makanan juga dianggap menjadi simbol budaya dalam sebuah tradisi, yang dinilai sebagai wujud syukur kepada sang pemcipta dan juga menemani dalam setiap cerita.
Bubur atau masyarakat Jawa biasa menyebutnya jenang merah putih misalnya bagi masyarakat Jawa pemaknaan bubur merah putih merupakan simbol untuk menolak bala atau menghindarkan manusia dari kesialan dan keburukan, oleh sebab itu Masyarakan Jawa percaya dengan menghidangkan olahan tersebut di berbagai acara seperti acara kelahiran, ulang tahun, pernikahan, musim panen menjadi simbol permohonan atau doa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat yang diterima. Secara dimensi sosial, membagikan bubur merah putih juga bisa meningkatkan silaturahmi ke para tetangga dan saling berbagi kebahagiaan serta doa untuk saling menjaga diri.
Warna merah dan putih juga konon diyakini sebagai lambang keberanian dan kesucian. Merah sebagai simbol keberanian dan putih sebagai simbol kesucian. Dalam acara kelahiran bayi atau pemberian nama, bubur ini menyimbolkan harapan agar anak nantinya tumbuh menjadi pribadi yang berani dan selalu bertindak di jalan yang suci (benar dan baik). Ada juga mitologi Jawa yang menyebutkan bahwa bubur putih merupakan simbol bibit dari ayah dan bubur merah merupakan simbol bibit dari ibu. Saat disatukan dalam satu wadah, maka ada simbol penyatuan dan hadirnya manusia baru.
Menarik contoh lain, pemaknaan terhadap babi guling yang selalu ada disetiap acara dan upacara adat Bali misalnya. Keindahan alam bali memang sudah tidak diragukan lagi, selain memiliki keindahan alam Pulau Bali juga menyimpan kreatifitas budaya yang telah tercipta dari nenek moyang masyarakat Bali. Perpaduan antara agama Hindu dan adat istiadat banyak menghasilkan karya budaya yang unik, hidup, dan sarat dengan nilai budaya. Kepaduan adat-budaya ini dapat dengan mudah kita temukan di setiap kabupaten, kecamatan, dan desa-desa di Bali. Di antara produk budaya hasil perpaduan adat-budaya tersebut adalah makanan tradisional yang masih dengan mudah ditemukan di masyarakatnya. Tidak hanya itu, berbagai kudapan Nusantara hadir dengan variasi berbeda ditiap wilayahnya.
Salah satu makanan tradisional yang khas dari Bali adalah be guling (babi guling) yang kini menjadi ikon kuliner Provinsi Bali, be guling biasa digunakan oleh masyarakat bali dalam ritual upacara yajna pada hari-hari yang dipandang sebagai hari suci. Dalam ritual ini be guling dimaknai sebagai permohonan keselamatan kepada Sanghyang Sangkara atau dewa penguasa kesuburan semua tumbuhan dan pepohonan atas tanaman agar dapat berbunga, berbuah, dan berdaun lebat sebagai sumber kehidupan. Selain dalam ritual upacara yajna be guling juga digunakan sebagai sarana upacara Usabha Posyan (kurban pebalik sumpah) dalam ritual Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih pada bulan Desember dan digunakan pula dalam upacara tiga bulanan seorang bayi. Hal tersebut dapat menyimpulkan bahwa penggunaan hidangan babi guling memiliki keterkaitan erat dengan unsur keagamaan sebagai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tradisi tersebut telah dilestarikan turun menurun sejak zaman nenek moyang mereka.
Contoh yang ditarik tersebut menandakan bahwa makanan tradisional Indonesia banyak memiliki nilai filosofi di dalamnya, baik dari muasal pembuatan maupun makna dan sifatnya berasal dari hasil alam, diperuntukkan bagi keberlangsungan alam, dan kembali lagi pada alam.
Pada dasarnya makanan tradisional merupakan salah satu unsur budaya yang berkedudukan cukup sentral, karena makanan berhubungan dengan pembiasaan tubuh, khususnya lidah. Lidah yang sudah dibudayakan secara Jawa, akan memiliki kecenderungan cita rasa berbeda dengan daerah lainnya, misalnya dengan cita rasa orang Batak. Dalam hal ini bisa dikatakan, makanan tradisional merupakan salah satu unsur identitas dasar (Lono Simatupang, 2008).
Dari sudut pandang ini, dapat terlihat bahwa keberagaman makanan lahir bukan semata dari segi bahan, pengolahan, serta penyajiannya yang berbeda-beda dan bervariasi. Proses pembudayaan cita rasa makanan itu turut membentuk keberagaman. Jika di Pulau Jawa saja dapat melahirkan cita rasa masakannya yang beragam, maka apabila satu pulau Nusantara disebutkan tentu saja tidak akan selesai karena begitu kaya ragam makanan yang dihasilkan. Namun, tentu saja setiap daerah dapat di cirikan dengan ke khasannya. Misalnya saja di Jawa Barat ciri masakannya kebanyakan sedikit pedas dan asam. Untuk Jawa Tengah memiliki kekhasan masakan manis dan tidak terlalu pedas. Sedangkan untuk wilayah Jawa Timur kecenderungan masakannya lebih dominan rasa asin dan pedas.
Dari sini nampak relevansi kemunculan makanan sebagai identitas. Dalam merepresentasikan kekhasannya, seringkali terwacanakan sebuah daerah menampilkan jenis makanan yang dianggap sebagai khas, unik, dan diyakini berada di daerah itu saja.
Komentar
Posting Komentar